Subscribe:

Selasa, 03 Desember 2013

Hikayat


HIKAYAT


           Pengertian Hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.

     Ciri-Ciri Hikayat
1.    Bersifat anonim : Pengarangnya tidak dikenal.
2.    Bersifat istana sentris : Menceritakan tokoh yang berkaitan dengan kehidupan istana atau kerajaan.
3.    Bersifat statis : Tetap, tidak banyak perubahan.
4.    Bersifat komunal : Menjadi milik masyarakat.
5.    Menggunakan bahasa klise : Menggunakan bahasa yang diulang-ulang.
6.    Bersifat tradisional : Meneruskan budaya atau tradisi atau kebiasaan yang dianggap baik.
7.    Bersifat didaktis : Didaktis moral maupun didaktis religius (mendidik).
8. Menceritakan kisah universal manusia : Peperangan antara yang baik dengan yang buruk, dan dimenangkan oleh yang baik.
9.    Magis : Pengarang membawa pembaca ke dunia khayal imajinasi yang serba indah.



     Macam-Macam Hikayat

a.    Macam-macam hikayat berdasarkan isinya, diklasifikasikan menjadi 6:
1. Cerita rakyat.
2. Epos India.
3. Cerita dari Jawa.
4. Cerita-cerita Islam.
5. Sejarah dan biografi.
6. Cerita berbingkat.
            b.    Macam-macam hikayat berdasarkan asalnya, diklasifikasikan menjadi 4:
1.   Melayu asli
·      Hikayat Hang Tuah (bercampur unsur Islam)
·      Hikayat Si Miskin (bercampur unsur Islam)
·      Hikayat Indera Bangsawan
·      Hikayat Malim Deman
2.   Pengaruh Jawa
·      Hikayat Panji Semirang   
·      Hikayat Cekel Weneng Pati
·      Hikayat Indera Jaya (dari Cerita Anglingdarma)
3.   Pengaruh Hindu (India)
·      Hikayat Sri Rama (dari Cerita Ramayana)
·      Hikayat Perang Pandhawa (dari Cerita Mahabarata)
·      Hikayat Sang Boma (dari Cerita Mahabarata)
·      Hikayat Bayan Budiman
4.   Pengaruh Arab-Persia
·      Hikayat Amir Hamzah (Pahlawan Islam)
·      Hikayat Bachtiar
·      Hikayat Seribu Satu Malam



Contoh Hikayat

Hikayat Hang Tuah

Tersebutlah perkataan Hang Tuah, anak Hang Mahmud, tempat duduknya di Sungai Duyung. Setiap orang yang berada di sana mendengar kabar raja di Bintan berbudi pekerti dan tutur katanya sangat menawan.
Hang Mahmud yang mendengar kabar itu berkata kepada istrinya, Dang Merdu. “Baiklah kita pergi ke Bintan. Kita ini keluarga miskin. Pindah ke Bintan dengan harapan supaya mudah mencari penghidupan yang layak.”
Dang Merdu berkata, “Setuju apa yang dikatakan tadi!”
Maka pada malam itu, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas kepala anaknya, Hang Tuah. Maka Hang Mahmud pun terkejut atas mimpinya tadi. Kemudian, bangun dari tidurnya dan diusapnya Hang Tuah itu sambil menciumnya dengan penuh kasih sayang.
Setelah hari siang, semua mimpi Hang Mahmud diceritakan kepada pada anak dan istrinya. Setelah mendengar cerita mimpi itu, Dang Mahmud memandikan Hang Tuah. Kemudian, diberinya kain dan baju serba putih. Setelah itu, diberinya makan nasi kunyit dan telur ayam. Tetua yang di sana mendoakan agar Hang Tuah selamat dan dijauhkan dari segala bala. Anak itu kembali dipeluk dan diciumi dengan penuh kasih.
Hang Mahmud berkata kepada istrinya, “Anak kita ini harus dijaga baik-baik. Jangan dibiarkan bermain jauh-jauh dari kita sebab ia sangat nakal. Kita usahakan pindah ke Bintan sebab di sana banyak guru mengaji.”
“Kalau begitu, kita harus menyiapkan segalanya. ”Maka Hang Mahmud pun bersiap-siap. Mereka akan berlayar ke Bintan. Setibanya di sana, Hang Mahmud tinggal di dekat kampung bendahara Paduka Raja. Hang Mahmud berjualan makanan di kedainya.
Setelah Hang Tuah besar, dia bekerja membantu kedua orang tuanya, mencari kayu bakar. Dia pula yang memotong kayu-kayu itu dengan kapak. Ibunya memerhatikan Hang Tuah yang sedang bekerja sambil duduk-duduk di kedainya.
Apabila Hang Mahmud tiba dari mencari rezeki, Hang Tuah menyambutnya. Jika hendak pergi ke manapun, Hang Tuah selalu minta izin kedua orang tuanya. Dengan begitu, Hang Tuah sudah paham budi pekerti. Pada usianya yang sepuluh tahun, dia sudah pandai bergaul dengan sesamanya. Dia bersahabat dengan Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Hang Tuah menyayangi sahabatnya itu. Jika bermain dengan mereka ke mana pun, selalu bersama-sama. Begitu pula ketika makan. Mereka seperti saudara kandung.
Pada suatu hari, Hang Tuah berkata kepada sahabatnya, “Hai, saudaraku! Mampukah kita melayarkan sebuah perahu agar kita dapat merantau ke tempat lain untuk mencari makan?”
Hang Jebat dan Hang Kasturi menjawab, “Pakai perahu siapa?”
“Baiklah kalau begitu, aku akan meminjam perahu ayahku.”
Setelah bersepakat, Hang Jebat dan Hang Kasturi pulang untuk menyiapkan perbekalan.
Orang tua mereka masing-masing mengizinkan anak-anaknya merantau.
Setelah perlengkapan disiapkan, Hang Tuah diberi sebilah keris oleh ayahnya. Begitu pula sahabat Hang Tuah lainnya dibekali persenjataan oleh orang tua masing-masing. Mereka berpamitan dan segera berlayar menuju Pulau Tinggi.
Di tengah samudra yang diarungi, mereka melihat perahu lain yang menuju Pulau Tinggi. Rupanya perahu itu adalah perahu musuh. Hang Tuah dan sahabatnya berembuk sambil berkata, “Bagaimana kita menghadapi musuh yang banyak itu?”
Dengan tenang, Hang Tuah berkata lagi, “Hai, saudaraku! Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha mempertahankan diri. Kita harus berbuat sesuatu. Tidak mungkin rasanya kita menghadapi musuh dengan kapal yang banyak dan besar.” Hang Tuah membelokkan perahunya menuju pulau itu. Setelah sampai di darat, perahu musuh mendekat pula ke pulau itu. Rombongan dari perahu besar itu memerhatikan kelima anak sebaya itu dan dinilainya baik-baik.
Dengan senang hati, orang di perahu besar itu ingin menjadikan mereka budaknya. Sambil menanti orang di perahu besar itu sampai ke daratan, Hang Tuah dan sahabatnya berdiri di tepi daratan. Rombongan orang di perahu besar itu hendak menangkap mereka. Namun, Hang Tuah dan sahabatnya waspada sambil memegang senjatanya masing-masing.
Ketika orang itu hendak menangkap mereka, Hang Tuah menikam orang itu. Paha orang itu terluka parah. Hang Jebat juga menghadang musuh lainnya dengan senjatanya. Akan tetapi, musuh lainnya menghujani Hang Tuah dan kawan-kawannya dengan senjata sumpit.
Semua orang di perahu besar itu berteriak, “Bunuhlah budak-budak celaka ini. Jangan dikasihani!”
Salah seorang di kapal besar itu melarang membunuh anak-anak itu sambil berkata, “Hai, budak-budak! Lebih baik menyerah daripada kami bunuh.”
Hang Jebat malah menjawab, “Cuih, kami tidak sudi menuruti keinginanmu!” Hang Jebat dan sahabat lainnya kembali menyerang orang itu dengan senjatanya.
“Keterlaluan budak-budak ini. Bunuhlah budakbudak celaka ini!” seru orang di kapal besar sambil menghujani Hang Tuah dan sahabatnya dengan senjata sumpit.
Hang Tuah siaga dengan keris terhunusnya. Begitu pula sahabat lainnya bersiap dengan senjatanya. Mereka balas menyerang dan berhasil melumpuhkan beberapa orang. Orang di perahu besar itu merasa kalah dan pergi meninggalkan pulau itu.
Setelah musuh itu lari, Hang Tuah dan sahabatnya merampas salah satu perahu musuh. Hang Tuah kemudian berlayar menuju Singapura. Musuh yang melarikan diri itu melaporkan kejadian tersebut kepada penghulunya. Di perahu besar, penghulu itu merasa terhina dan marah besar. Dari kapal besar itu, sang penghulu melihat perahu yang dikemudikan Hang Tuah berlayar menuju Singapura. Maka penghulu musuh itu pun berdiri di tiang besar sambil berkata, “Segeralah kita berlayar dan hadanglah perahu Hang Tuah itu.”

0 komentar:

Posting Komentar